Wednesday, March 30, 2005

Belajar dari Mamah

Bila berbicara tentang Ibu saya - atau yang biasa saya panggil Mamah, saya tak akan bisa menyembunyikan beribu kekaguman saya kepada beliau dalam memperjuangkan kehidupan anak-anaknya. Beliau bisa galak, tegas dan tanpa kompromi dalam mendidik kami - namun di lain kesempatan beliau penuh kasih dan bisa menjadi tempat kami bermanja-manja. Tempat kami curhat mengenai pacar atau teman sekolah saat kami remaja dulu.

Saya ingat satu pengalaman lucu saat SMA dulu. Waktu itu ceritanya saya bertengkar dengan pacar saya. Sebenarnya saya sih yang salah, tapi untuk minta maaf saya gengsi abis. Bagi seorang remaja, masalah sepele ini bisa jadi serasa akhir dunia. Begitu pun yang saya rasakan saat itu. Saya jadi tidak napsu makan dsb. seperti umumnya ABG patah hati. Oleh Mamah saya diajak pergi ke rumah nenek saya untuk menghilangkan kegundahan hati saya. Ternyata di tengah jalan kami berpapasan dengan pacar saya tersebut. Serta merta Mamah menyuruh saya turun dari mobil dan mendatangi sang pacar untuk berbaikan. Hehehe....

Mamah juga memberikan kebebasan yang cukup besar kepada anak-anaknya. Semua itu hanya berdasarkan kepercayaan beliau kepada kami. Entah mengapa, kami juga sangat enggan untuk merusak kepercayaan yang telah diberikan itu. Saat teman-teman satu geng saya mulai belajar merokok, saya tidak ikut-ikutan karena saya tahu Mamah pasti akan kecewa kalau saya merokok. Saat teman-teman saya dengan bebasnya membicarakan mengenai film biru yang mereka tonton, saya tidak merasa tertarik atau ingin tahu karena saya sadar Mamah tak akan suka. Tapi bukan berarti saya jadi tidak bergaul, lho. Mungkin justru karena saya mempunyai 'sikap' jadi teman-teman saya menghargai saya.

Saya juga mengalami jaman-jaman pergi ke disko, pulang pagi dsb. Begitu pun saudara-saudara saya yang lain. Tapi, Alhamdulillah, kami tidak pernah salah pergaulan atau pun tersangkut-sangkut narkoba. Sekali lagi, mungkin karena kami semua tidak ingin menyakiti hati Mamah.

Sekarang kami semua sudah dewasa. Saya pun sudah mempunyai anak sendiri dan merasakan betapa sulitnya mendidik anak. Sering saya berpikir, apakah saya mampu menumbuhkan rasa hormat anak saya terhadap saya seperti rasa hormat saya kepada Mamah yang bukan dilandasi oleh rasa takut, melainkan oleh rasa cinta? Jadi seperti saya, anak saya tidak akan melakukan perbuatan apa pun yang dirasanya akan menyakiti atau pun mengecewakan hati Ibunya. Sepertinya saya harus banyak belajar dari Mamah.

Namun di atas semua itu, yang paling saya kagumi dari beliau adalah betapa beliau sangat menghargai kejujuran dan menerapkan kejujuran dalam mendidik anak-anaknya. Tak pernah sekali pun saya menjumpai Ibu saya berkata bohong walaupun kejujurannya itu sering menyakitkan. Kadang saya suka berharap agar sesekali Mamah tidak bersikap terlalu lugas. Karena sering sikap beliau yang seperti itu menimbulkan salah persepsi dari orang lain. Mamah di cap terlalu blak-blakan, tidak tepo seliro dsb. Tapi tiap kali saya ingatkan hal tersebut kepada Mamah, beliau tampak bingung dan berkata "Mamah, kan, nggak bisa bohong. Nanti dosa lagi." Sesederhana itu. Lagi-lagi rasanya saya perlu belajar banyak dari Mamah...