Wednesday, May 28, 2008

Cinta Dalam Jarak

Ada cinta dalam jarak
kau dan aku bagaikan dua buah perahu sepi
yang berlayar dalam gelap
menuju satu pelabuhan yang sama
dan cinta adalah mercusuarnya
yang memastikan kita tak tersesat
dalam luasnya samudera kehidupan

Ada jarak dalam cinta
kau dan aku adalah dua mata angin yang berlawanan
saling berusaha untuk bertemu
menyamakan arah
beratas-namakan cinta
walau pun mustahil kadang sungguh
dua pribadi yang berbeda
menyatu dalam satu kata

Monokrom Cinta

hitam putih bukanlah warna romantis
namun dalam hitam putih kutemukan cintamu
bagai berada di atas papan catur
kita berdua saling mengatur langkah
untuk saling mendekat
skak mat!
dan cintakupun jatuh padamu

Tuesday, May 20, 2008

Pagi yang berkesan

Pagi ini saya mendapat pengalaman berkesan. Seperti biasa, setiap senin pagi saya terburu-buru berangkat kerja karena takut macet di jalan dan terlambat tiba di kantor. Sebelum keluar rumah saya sempat mengambil uang receh Rp. 3 ribu dari mobil suami untuk naik angkot karena seingat saya uang di dompet saya pecahan Rp. 50 ribuan. Hari ini suami saya tidak berangkat kerja jadi saya harus ngompreng ke kantor.

Perjalanan dari rumah ke pasar jumat berjalan mulus, titik-titik yang biasanya macet pagi tadi malah lancar. Hingga tanpa terasa perjalanan yang biasanya menghabiskan waktu 1 jam, tadi pagi hanya memerlukan waktu 1/2 jam saja. Mungkin karena hari Senin ini hari kejepit ya.

Jam 7.00 saya sudah tiba di halte bus pasar jumat, belum sempat menunggu lama, metromini kesayangan sudah nongol di depan mata. Saya pun dengan sigap langsung naik, memilih tempat duduk dekat jendela dan siap-siap untuk dozed-off alias tidur. Metromini baru jalan beberapa meter, sang kondektur sudah keliling menagih ongkos penumpang. Saya buru-buru mencari dompet saya di dalam tas. Lho kok tidak ada. Saya langsung pucat. Saya ingat tadi pagi saya ganti tas supaya matching dengan baju yang akan saya kenakan ke kantor. Sepertinya dompet saya masih tertinggal di tas yang lama. Waduh gawat.

Tanpa menunggu hingga kondektur tiba di bangku yang saya duduki, saya pun bangkit dan tanpa babibu turun dari bus. Dengan gontai saya balik lagi ke halte bus dan menelpon suami di rumah untuk mengantarkan dompet saya. Saya juga menelpon teman di kantor untuk mengabarkan bahwa saya akan agak terlambat datang ke kantor hari ini. Saya lalu duduk di salah satu bangku yang tersedia di halte tersebut. Di sebelah saya duduk seorang gadis manis yang sedang asyik sms-an. Saya melirik. Tiba-tiba terbersit ide brilian dalam hatiku. Tapi berani nggak ya. Ah, daripada menunggu suami mengantar dompet yang memakan waktu kurang lebih 1 jam lebih baik...

Dengan menebalkan muka, sayapun menyapa gadis tersebut dan... minta uang. Bener lo, I am asking a stranger to give me some money! Habis gimana lagi? Mau bilang pinjam nggak mungkin karena belum tentu saya bakalan bertemu lagi dengan gadis manis tersebut. Untungnya ternyata dia diam-diam mendengarkan waktu saya menelpon suami dan teman kantor, jadi tanpa perlu repot menjelaskan dia sudah mengetahui masalah saya. Saya minta Rp. 2 ribu untuk naik metromini ke kantor... eh dia malah ngasih Rp. 5 ribu. Nggak papa Bu, saya nggak ada uang kecil - katanya. Jadilah saya berangkat ke kantor naik metromini dengan uang pemberian dari orang lain.

Waktu saya telpon suami saya untuk mengabarkan bahwa ia tidak perlu lagi mengantar dompet saya karena saya sudah ada uang untuk ongkos, suami saya hampir tidak percaya mendengar cerita saya bagaimana saya mendapatkan uang untuk ongkos tersebut. Sambil bercanda saya katakan padanya," Segitunya aku belum ngamen Mas, apalagi kalo ngamen ya, bisa jadi tambahan uang dapur, hehehe..."

Anyway, saya berterima kasih sekali kepada si gadis manis yang telah memberikan uangnya kepada saya tanpa reserve. Hal ini mengajarkan saya bahwa toleransi dan rasa percaya antar individu ternyata masih ada, terutama di kota jakarta yang terkenal individualistis ini. Saya juga seperti diingatkan untuk lebih mengamalkan ukhuwah islamiyah dalam kehidupan saya sehari-hari yang mungkin selama ini sudah jarang saya terapkan. Kita boleh saja tinggal di kota yang individualistis, tapi bukan berarti kita juga harus menjadi individualistis kan?