“Ibu, kenapa pesawat bisa terbang sedangkan kita tidak bisa terbang?”
“Karena pesawat ada sayapnya, ada mesinnya, dan ada bahan bakarnya.”
“Emangnya bahan bakar pesawat apa sih Bu?”
”Avtur.”
”Lain, ya, dari bahan bakar mobil?
”Lain, kalau mobil, bahan bakarnya, kan, bensin atau solar.”
”Kalau manusia?”
”Bahan bakarnya makanan dan minuman, dong.”
“Kalau kita dipasangin sayap, dipasangin mesin, terus minum avtur, apa kita bisa terbang juga seperti pesawat?”
Gubrak!
Apakah narasi di atas mirip-mirip seperti yang anda alami saat bertanya-jawab alias ngobrol dengan anak anda? Apakah anda sering kebingungan dan frustasi menjawab pertanyaan-pertanyaan anak anda yang kritis? Ketahuilah, anda tidak sendiri.
Teman, bisa dibilang kita hidup dari bertanya, sejak kita mulai bisa berbicara hingga nanti kita dipanggil oleh Sang Illahi, kita tidak henti-hentinya bertanya. Kita belajar dari bertanya, kesuksesan kita diawali dari tanya. Bahkan saat tidur pun kadang kita bertanya dalam mimpi. Percaya tidak? Nah, saya bertanya, kan?
Anak saya yang kecil, yang saat ini berusia 6 tahun, tidak henti-hentinya bertanya. Membuat saya ikut bertanya-tanya kesana kemari untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang kritis tapi tidak ingin saya jawab secara sembarangan. Saya, sih, senang-senang saja menjawab pertanyaan-pertanyaannya karena saya percaya bertanya adalah merupakan sebuah proses kreatif. Saya yakin Madame Currie, Einstein, Alpha Edison dan ilmuwan lainnya tidak akan berhasil menemukan penemuan mereka bila mereka tidak bertanya. Apalagi pertanyaan-pertanyaan anak saya yang kadang tidak biasa tersebut membuat saya terpaksa belajar kembali, membuka buku, mencari informasi dari google, yang akhirnya membuat pengetahuan saya ikut bertambah.
Berdasarkan hasil survei science campaign, didapatkan bahwa pertanyaan anak-anak yang diajukan kepada orang tua umumnya membingungkan dan sulit untuk dijawab, seperti “Dari mana bayi berasal?” pertanyaan ini sebesar 60 persen, “Bagaimana bisa terjadi pelangi?” pertanyaan ini sebesar 43 persen dan “Mengapa langit berwarna biru?” pertanyaan ini sebesar 30 persen. Jadi, seperti sudah saya sebutkan di atas tadi, kita bukannya satu-satunya orang tua yang sering harus kerja keras untuk menjawab pertanyaan anak, kan?
Memang susah-susah gampang kita menghadapi pertanyaan anak yang kritis, tapi ada kiat-kiat yang bisa kita pelajari dalam menjawab pertanyaan kritis anak seperti yang disampaikan oleh Johan Wahyudi, seorang pendidik dan peneliti, dalam Kompasiana.com:
Strategi 1: Menjaga Kejujuran
Ketika ditanya anak tentang suatu hal, orang tua harus bersikap jujur. Maksudnya, orang tua harus menjawab pertanyaan itu secara objektif terukur. Orang tua tidak boleh menolak pertanyaan anak. Mereka itu memerlukan jawaban segera. Oleh karena itu, orang tua tidak boleh menyesatkan pikiran anak dengan jawaban yang mbulet alias bertele-tele alias berbelit-belit. Jawablah pertanyaan anak itu dengan jujur.
Strategi 2: Menggunakan Bahasa Analogi
Pikiran anak belum mampu memahami penalaran tingkat tinggi. Oleh karena itu, pikiran anak perlu dirangsang dengan penalaran analogi. Penalaran analogi adalah pola berpikir yang menggunakan objek lain sebagai pembanding untuk memudahkan pengembangan gagasan. Pernyataan awal tulisan ini dapat digunakan sebagai contohnya, yaitu penggunaan istilah kaset untuk menggantikan istilah otak atau pikiran anak
Strategi 3: Bersikap Ramah
Anak sering bertanya tanpa mempertimbangkan kesopanan atau etika. Mereka hanya berdasarkan insting atau naluri keingintahuan. Jadi, mereka tidak pernah berpikir bahwa pertanyaan itu kurang etis ditanyakan. Namun, rasa ingin tahu membangkitkan keberaniannya untuk bertanya. Maka, orang tua tidak boleh menanggapi pertanyaan itu secara emosional. Orang tua harus bersikap ramah agar anak merasa dilayani.
Kiat-kiat tersebut di atas yang selalu menjadi pertimbangan saya saat menjawab pertanyaan anak. Tapi bagaimana kalau suatu ketika, karena kurangnya pengetahuan kita, kita tidak dapat menjawab pertanyaan anak? Kalau saya, saya menghindari dari menjawab sembarangan karena saya tidak ingin menghina intelektualitas anak saya walaupun mungkin dia tidak akan menyadarinya. Saya akan menjawab terus terang bahwa saya tidak tahu, tapi saya tidak berhenti di situ, saya berusaha mencari tahu dengan cara-cara seperti yang sudah saya sebut di atas ( bertanya kesana-kemari, buka google sampai membaca buku), dan saya akan segera menyampaikan jawaban yang saya dapatkan kepada anak saya kemudian. Memang semua itu membutuhkan kesabaran ekstra dan kerja keras. Tetapi semua akan rela kita lakukan agar anak kita tetap kreatif, kan? Bagaimana dengan anda? (eky)